Rabu, 07 Mei 2008

DESA PAPANI

Pada zaman dahulu, ketika Indonesia masih berda dalam kekuasaan bangsa Belanda, tinggallah seoarang nenek tua dan cucunya, disebuah gubuk tua yang reyot.
Mereka berduaterkenal di desanya sebagai orang yang ramah, meskipun mereka berdua termasuk keluarga yang tidak tidak mampu, tetapi para masyarakat di desanya sungguh menghormati merka berdua. Nenek tersebut bernama Mbah Painem, dan cucunya yang bernama Paijo. Setiap hari Mbah Painem dan Paijo pergi ke sawah unntuk melakukan kegiatan rutin mereka sebagai seorang petani.
Pagi – pagi sekali, seperti biasa Mbah Painem membangunkan Paijo untuk sholat subuh,setelah itu mereka berdua menyiapkan alat–alat yang akan dibawa ke sawah. Mereka berdua tampak ceriadan penuh semangat untuk bekerja di sawah pada pagi ini. Pada pertengahan perjalanan, stiap penduduk yang berpapasan dengan Mbah Painem dan Paijo menyapa mereka berdua, ini membukktikan bahwa mereka berdua memang dihormati olehpara penduduuk. Setelah itu, Mbah Painem dan Paijo melihat ada seorang petani yang sedag dihadang oleh gerombolan kompeni, gergerombolan kompeni itu berusaha untuk merampas harta petani itu. Gerombolan kompeni itu terkenal sangat kejam terutama pemimpin meka yang bernama colonel Adhempark. Para gerombolan itu pergi dengan membawa harat petani tersebut. Dam kemudian gerombolan itu menemui Mbah Painem dan Paijo.” Eh you, you must give your money to us”, kata para gerombolan kompeni.”Apa…apa aku gak ngerti bahasa kalian semua, kalian tuh ngomong pakek bahasa apa sih!! Kok aku enggak pernah dengar, kata Mbah Painem. Kemudian para gerombolan itu menjawab,” Eh you!! You mock us, you never listen English? You don’t know us? Keudian Paijo menjawab,”Nek, mereka tu ngomong apa sih, aku enggak ngerti nih nek!, “sama aku juga enggak ngerti nih Jo, lebih baik kalian semua pergi dari sini”, kata Mbah paijo. Akhirnya para gerombolan kompeni itu pergi kemarkas mereka.
Mbah Painem dan Pijo melanjutkan perjalanan untuk pergi ke sawah. Sesampainya di sawah mereka melakukan keiatan rutin mereka sebagai petani. Hari pun mulai siang, para kompeni tadi melaporkan apa yang telah terjadi pada mereka kepadda pemimpin mereka yang bernama Kolonel Adhempark bahwaa mereka baru saja telah dipermalukan oleh sorang nenek yang rentah bersama cucunya. Mendengar hal itu Kolonel Adhempark merasa marah sekali kepada anak buahnya karena bias dipermalukan oleh mereka berdua. Akhirnya Kolonel Adhempark memutuskan untuk pergi menemui Mbah Painem dan Paijo bersama anak buahnya. Sesampai dirumah Mbah Painem, ternyata mereka berdua masih belum pulang dari sawah, sementara letak sawah dari rumah Mbah painem lumayan jauh, akhirnya Kolonel Adhempark bersama anak buahnya merusak dan mengobrak-abrikkan rumah Mbah Painem dan Paijo. Setelah itu para gerombolan kompeni itu meninggalakan rumah Mbah Painem dengan persaan legah walaupun mereka tidak bertemu dengan Mbah Painem dan Paijo. Hari pun menjelang malam, Mbah Painem dan Paijo kembali kerumah mereka. Di tengah perjalananada seorang penduduk mengatakan bahwa rumah Mbah Painem dsn Paijo telah dirusak oleh gerombolan kompeni. Mendengar hal itu, Paijo dan Mbah Painem menyepatkan langkah mereka agar cepat sampai di rumah. Sesampainya di rumah, Paijo terkejut meliahat rumah mereka berdua telah rusak, rumah yang bertahun-tahun telah mengayumi dan menyelimuti mereka berdua, kini telah hancur. Seketikaitu Paijo yang tak kuasa melihatnya, lansung meneteskan air mata. Dan MbahPainem berusaha menghibur hati Paijo agar tidak sedih.”Nek, mengapa masih ada oaring yang begitu kejam untuyk menindsas orang lemah seperti kita ya nek?.” Memang banyak orang yang lebih kaya dari kita tetapi sedikit sekali orang yang dapat bersyukur kepada Tuhan”, ujar Mbah Painem untuk menghiber Paijo.”Jadi, jangan skali-sekali kamu merasa menyesal menjadi orang yang tak mampu, dan janganlah kamu dendam kepada mereka”, kata Mbah Painem. Dengan perlahan-lahan Paijopun mulai tersenyum.
Keesokan harinya, Mbah Painem dan Paijomemperbaiki rumah mereka berdua, Paijo sudah tampak ceria seakan-akan tidak terjadi apa-apa pada mereka berdua. Tampak dari kejauhan, para Gerombolan kompeni bersama Kolonel Adhempark datang menghampiri Mbah Painem dan Paijo.
Para gerombolan kompeni itu menertawakan Mbah Painem dan Paijo, haa..ha.. ha…., tetapi Mbah Painem dan Paijo malah tertawa lebih keras daripada Mbah Painem. Para kompeni itu bimgung melihat tingkah Mbah Painem dan Paijo, seakan-akan tidak terjadi apa-apa pada mereka. Kolonel Adhempark bertanya kepada Mbah Painem,” mengapa kamu bersama cucu kamu tertawa padahal kami telah menghancurkan rumah kalian berdua?”. Mbah Painem menjawab,”ooh kamu bisa bahasa kami ya, yang itu sih sudah kami lupakan, buat apa kami marah toh ternyata tidak akan mengembalikan rumah kami seperti semula. Para kompeni itupun sempat kagum mendengar jawaban dari Mbah Painem. Kolonel Adhempark bertanya kepada Paijo,”apakah kamua tidak sedih melihat rumahmu hancur?, dan apakah kamu tidak mersa dendam kepada kami?. Paijo menjawab,”sebenarnya saya sempat sedih melihat rmah saya yang kami bangun dengan susah payah dihancurkan oleh seseorang, dan saya sempat dendam pada orang yang menghancurka rumah kami, tetapi nenek mengajarkan untuk tabah menghadapi semua itu, dan nenek tidak mengajarkan untuk dendam kepada seseorang meskipun orang itu telah melakukan kesalahan yang besar kepada kita. Meandengar hal itu, para kompeni itupun bersama Kolonel Adhempark seketika itu meminta maaf kepada Mbah Painem dan Paijo karena mereka tersanjung mendengar jawaban dari mereka berdua. Mereka menyadari bahwa apa yang telah mereka lakukan itu salah.
Setelah hal itu brerakhir Mbah Painem dan Paijo kembali meneruskan pekerjaan mereka untuk membetulakn rumah mereka yang telah hancur dengan dibantu oelh para kompeni. Mereka semua terlihat bahagia dan ceria membenahi rumah Mbah Painem dan Paijo. Sejak saat itu para penduduk di desa itu memberi nama desa mereka dengan “Desa Papani” singkatan dari Painem, Paijo dan para kompeni.